Betang.id – Dalam acara The 6th Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2024 bertajuk “Technology Convergence: Shaping the Future of Finance and Beyond”, VIDA memaparkan sebuah fakta mencengangkan. Kasus penipuan berbasis kecerdasan buatan (AI) di sektor keuangan Indonesia mengalami peningkatan drastis hingga 1.550%. Lonjakan ini menjadi peringatan serius bagi industri keuangan untuk segera mengambil langkah proaktif dalam menangani ancaman yang kian canggih.
Victor Indajang, Chief Operating Officer VIDA, menyatakan bahwa peningkatan tajam ini merupakan alarm bagi seluruh pelaku industri. Jika tidak segera ditangani, ancaman tersebut dapat membawa kerugian besar, baik secara finansial maupun reputasi.
“Industri keuangan perlu beradaptasi dan memperkuat pertahanan mereka. Teknologi AI yang terus berkembang tidak hanya menciptakan peluang, tetapi juga meningkatkan risiko kejahatan siber,” ungkapnya.
Berikut adalah tiga metode utama yang biasa digunakan dalam penipuan berbasis AI serta dampaknya pada sektor keuangan.
Metode Penipuan Berbasis AI
1. Deepfake dan Penipuan Berbasis AI
Salah satu metode penipuan yang paling mencolok adalah penggunaan teknologi deepfake. Dengan kemampuan menghasilkan video, audio, dan gambar palsu yang sangat realistis, pelaku kejahatan dapat:
- Menyamar sebagai individu tertentu untuk melakukan tindakan penipuan.
- Memanipulasi sistem verifikasi berbasis wajah atau suara, seperti yang sering digunakan di sektor perbankan.
Secara global, penyalahgunaan deepfake meningkat hingga 700%. Teknologi ini digunakan tidak hanya untuk menargetkan individu, tetapi juga perusahaan besar, memanipulasi proses autentikasi, atau bahkan melakukan serangan reputasi.
Deepfake menjadi ancaman besar bagi lembaga keuangan, terutama yang belum memiliki mekanisme pertahanan canggih untuk mendeteksi manipulasi visual dan audio.
2. Pengambilalihan Akun (Account Takeovers/ATOs)
Account Takeovers (ATOs) adalah metode penipuan di mana pelaku mengambil alih akun pengguna yang sah dengan menggunakan kredensial curian. Kasus ini sering kali terjadi akibat:
- Phishing: Pelaku menipu korban agar memberikan informasi login.
- Pelanggaran data: Informasi sensitif dijual di pasar gelap oleh pelaku kejahatan.
Fakta mencengangkan: 97% bisnis di Indonesia melaporkan mengalami upaya pengambilalihan akun dalam beberapa tahun terakhir. Dari kasus tersebut, 76% berujung pada transaksi tidak sah atau pelanggaran data yang mengakibatkan kerugian finansial besar serta menurunkan kepercayaan konsumen.
Karena mayoritas transaksi digital mengandalkan sistem akun, metode ini menjadi salah satu alat paling efektif bagi pelaku kejahatan berbasis AI.
3. Penipuan Identitas Sintetis
Penipuan identitas sintetis menggunakan data palsu yang dimanipulasi, atau bahkan identitas buatan yang diciptakan dengan bantuan teknologi AI. Proses ini memungkinkan pelaku untuk:
- Membuka rekening bank baru dengan data palsu.
- Melakukan transaksi ilegal tanpa mudah dilacak.
Menurut data VIDA, 56% bisnis di Indonesia pernah mengalami jenis penipuan ini. Pelaku memanfaatkan teknologi deepfake atau manipulasi data untuk membuat identitas palsu yang mampu menembus sistem verifikasi tradisional.
Untuk menghadapi ancaman ini, lembaga keuangan disarankan mengadopsi:
- Teknologi verifikasi biometrik yang lebih canggih.
- Sistem deteksi penipuan berbasis AI yang mampu menganalisis pola aktivitas pengguna secara mendalam.
Langkah Proaktif untuk Menghadapi Ancaman
Dengan meningkatnya kompleksitas kejahatan berbasis AI, industri keuangan perlu segera memperkuat sistem keamanannya. Beberapa langkah penting yang bisa diambil adalah:
- Memperbarui teknologi keamanan untuk mendeteksi manipulasi AI, seperti deepfake.
- Menggunakan analitik berbasis AI untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan secara real-time.
- Mengedukasi konsumen tentang bahaya phishing dan pentingnya menjaga data pribadi.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa teknologi tidak hanya membawa manfaat, tetapi juga risiko yang harus diantisipasi. Dalam dunia keuangan yang semakin terhubung secara digital, investasi dalam keamanan siber bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mutlak.
Bagaimana pendapat Anda? Apakah sektor keuangan Indonesia siap menghadapi ancaman ini, atau perlu langkah lebih agresif?
Ikuti kami di google news dan saluran WHATSAPP untuk update berita terbaru dari Betang