Betang.id – Rencana penggabungan dua operator telekomunikasi besar di Indonesia, XL Axiata dan Smartfren, menjadi sorotan. Langkah ini dinilai sebagai respons atas persaingan pasar yang semakin ketat. Meski menjanjikan peluang konsolidasi, para analis mengingatkan risiko-risiko yang harus dihadapi, terutama terkait beban utang yang tinggi.
Tujuan Strategis dan Potensi Sinergi
Rencana merger ini melibatkan XL Axiata, yang saham mayoritasnya dikuasai Axiata Group dari Malaysia, dan Smartfren Telecom, bagian dari konglomerat Sinar Mas Group. Keduanya telah menandatangani perjanjian tidak mengikat pada 15 Mei 2024, dengan tujuan membentuk entitas gabungan yang lebih kompetitif. Jika terlaksana, merger ini akan menciptakan kepemilikan spektrum sebesar 34% di Indonesia, mendekati Telkomsel dan Indosat yang saat ini memegang 66% spektrum.
Kenanga Investment Bank mencatat bahwa penggabungan ini dapat memperkuat posisi XL Axiata dan Smartfren dalam menghadapi dominasi Telkomsel dan Indosat. Namun, sesuai regulasi, ada kemungkinan bahwa sebagian spektrum yang dikuasai entitas baru harus dikembalikan kepada pemerintah.
Tantangan Utama: Utang dan Skala Bisnis
RHB Investment Bank menyoroti bahwa skala bisnis Smartfren yang relatif kecil dan pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) yang rendah menjadi tantangan. Meskipun ada potensi sinergi, Axiata Group diminta untuk menjelaskan lebih lanjut manfaat strategis dan operasional dari rencana merger ini.
AmInvestment Bank menambahkan bahwa merger ini bisa membantu XL Axiata mencapai efisiensi melalui penghapusan duplikasi infrastruktur, berbagi sumber daya, serta pengeluaran modal yang lebih terfokus. Namun, beban utang menjadi perhatian besar. Hingga akhir 2023, utang bersih Smartfren tercatat mencapai Rp 12,3 triliun, dengan rasio utang terhadap arus kas sebesar 4,9 kali, jauh lebih tinggi dibandingkan rasio XL Axiata yang berada di angka 2,5 kali.
Risiko Lain yang Mengintai
Selain tantangan keuangan, ada risiko integrasi jaringan, regulasi, dan fluktuasi nilai tukar mata uang asing yang harus dihadapi Axiata. Perusahaan ini diketahui sedang dalam upaya memperbaiki profitabilitas dengan menjual beberapa aset, seperti bisnisnya di Myanmar pada April 2024 dan di Nepal pada akhir 2023.
Para analis memperingatkan bahwa merger ini perlu dirancang secara matang untuk memastikan manfaat jangka panjang. Jika berhasil, konsolidasi ini dapat menciptakan entitas telekomunikasi yang lebih tangguh dan efisien di Indonesia. Namun, jika risiko-risiko tidak dikelola dengan baik, beban utang dan tantangan operasional justru dapat menghambat pertumbuhan.
Penutup
Penggabungan XL Axiata dan Smartfren adalah langkah strategis yang menjanjikan peluang besar sekaligus menghadirkan risiko yang tidak kecil. Keberhasilan merger ini akan sangat tergantung pada kemampuan kedua perusahaan dalam mengatasi tantangan integrasi dan memastikan bahwa sinergi yang diharapkan benar-benar tercapai. Di tengah dinamika pasar telekomunikasi yang terus berubah, keputusan ini berpotensi mengubah peta persaingan di Indonesia. Namun, eksekusi yang hati-hati dan terukur menjadi kunci utama untuk meraih sukses.