Betang.id – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk menolak gugatan uji materi terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berkaitan dengan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), yang telah ditetapkan maksimal pada usia 70 tahun.
Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 diajukan oleh tiga warga negara Indonesia (WNI) dengan nama Wiwit Ariyanto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro. Mereka diwakili oleh sejumlah advokat, sebanyak 98 orang, yang tergabung dalam Forum Aliansi ’98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan digelar di Gedung MK RI, Jakarta, pada hari Senin, dan dalam sidang tersebut, Ketua MK Anwar Usman menyatakan, “MK menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya.”
Para pemohon dalam perkara ini mengajukan dua pokok permohonan. Pertama, mereka meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 selama tidak dimaknai sebagai “berusia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 70 tahun pada proses pemilihan.” Kedua, mereka memohon agar Pasal 169 huruf d UU Pemilu mengatur norma tambahan sebagai berikut: “tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM yang berat masa lalu, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.”
Terkait dengan batas usia maksimal capres-cawapres yang telah ditetapkan pada usia 70 tahun, MK menyimpulkan bahwa permohonan tersebut telah kehilangan objek, karena Pasal 169 huruf q UU Pemilu telah memiliki pemaknaan baru, sebagaimana yang diatur dalam putusan MK terbaru pada tanggal 16 Oktober 2023. Anwar menjelaskan, “Pokok permohonan para pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah kehilangan objek.”
Sementara itu, terkait dengan permohonan penambahan norma baru pada Pasal 169 huruf d UU Pemilu, MK berpendapat bahwa permohonan para pemohon dapat menimbulkan redundansi atau kelimpahan makna. MK menilai bahwa redundansi ini dapat mengakibatkan pengulangan makna yang memiliki kecenderungan keragu-raguan dan justru dapat mempersempit cakupan norma dasar yang secara alami terdapat dalam Pasal 169 huruf d UU Pemilu. MK menegaskan bahwa pasal tersebut sebenarnya telah mencakup makna yang sangat luas, mencakup semua jenis tindak pidana berat, termasuk tindak pidana yang diacu oleh para pemohon dalam permohonan mereka.
Oleh karena itu, MK menyatakan bahwa pokok permohonan para pemohon terkait Pasal 169 huruf d UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum. Anwar menyampaikan, “Pokok permohonan para pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf d UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah tidak beralasan menurut hukum.”
Tetapi, perlu dicatat bahwa terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari seorang hakim konstitusi, yaitu Hakim Suhartoyo. Hakim Suhartoyo memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan gugatan ini.