Betang.id – Dunia teknologi tengah berduka atas kepergian Suchir Balaji, sosok brilian di balik pengembangan teknologi ChatGPT. Suchir Balaji, yang meninggal pada usia 26 tahun, ditemukan tewas di apartemennya di San Francisco pada 26 November 2024. Kematian Balaji dinyatakan sebagai kasus bunuh diri oleh pihak pemeriksa medis, meskipun banyak pihak mempertanyakan latar belakang dan kondisi di balik tragedi ini.
Sosok Suchir Balaji dan Perannya di Dunia AI
Lahir sebagai individu berbakat, Balaji dikenal sebagai salah satu arsitek utama di balik teknologi ChatGPT, yang merevolusi interaksi manusia dengan kecerdasan buatan. Kecintaannya terhadap teknologi bermula saat membaca tentang kemampuan AI memainkan game klasik seperti Space Invaders dan Pong. Inspirasi inilah yang membawanya untuk mendalami ilmu komputer di Universitas California, Berkeley.
Saat magang di OpenAI pada 2018, Balaji mulai menjelajahi ide-ide besar yang menjadi landasan pengembangan jaringan saraf AI. Pada 2020, ia resmi bergabung dengan OpenAI dan menjadi salah satu peneliti di balik proyek WebGPT serta pra-pelatihan model GPT-4, teknologi inti yang mendukung ChatGPT. Sistem ini memungkinkan AI untuk memahami dan menghasilkan respons berdasarkan data yang dianalisis dari hampir semua teks bahasa Inggris yang tersedia di internet.
ChatGPT, yang awalnya didorong oleh GPT-3 dan kemudian GPT-4, menjadi produk terobosan OpenAI. Namun, kesuksesan ini juga membawa banyak tantangan, terutama terkait etika penggunaan data dalam pelatihan AI generatif.
Kritik Pedas terhadap Industri AI
Sebagai salah satu pionir AI, Balaji tidak segan menyuarakan kekhawatirannya terhadap praktik industri. Ia menyoroti dugaan bahwa OpenAI dan perusahaan serupa menggunakan data berhak cipta secara ilegal untuk melatih model AI mereka. Menurutnya, sistem seperti GPT-4 menciptakan “pengganti” yang kompetitif terhadap konten asli yang menjadi basis pelatihannya, merugikan pembuat konten seperti artis, penulis, hingga organisasi berita.
Dalam wawancara dengan The New York Times, Balaji mengungkapkan kekhawatiran lebih besar terhadap arah pengembangan AI. Ia memperingatkan risiko teknologi yang menggantikan layanan internet tradisional sambil menciptakan output yang sering kali tidak akurat atau bahkan menyesatkan—a fenomena yang dikenal sebagai “halusinasi AI.”
Setelah bekerja di OpenAI selama lebih dari empat tahun, Balaji memilih untuk mengundurkan diri pada Agustus 2024. Keputusan ini didorong oleh rasa frustrasinya terhadap dampak negatif AI terhadap ekosistem informasi global. “Jika Anda percaya pada prinsip yang benar, sebaiknya Anda keluar dari perusahaan,” tegasnya dalam wawancara.
Kontroversi Hak Cipta dan Gugatan Terhadap OpenAI
Satu hari sebelum kematiannya, nama Balaji disebut dalam gugatan hak cipta besar yang diajukan terhadap OpenAI. Gugatan tersebut menuduh OpenAI menggunakan materi berhak cipta tanpa izin untuk melatih teknologi mereka, termasuk ChatGPT. Informasi ini semakin menggarisbawahi peran Balaji sebagai whistleblower yang berani menentang praktik kontroversial perusahaan raksasa AI.
Menurut laporan TechCrunch, OpenAI sepakat untuk meninjau arsip pribadi Balaji sebagai bagian dari penyelidikan atas tuduhan pelanggaran hak cipta. Ini menempatkan Balaji di tengah polemik hukum yang semakin panas.
Tragedi yang Memicu Pertanyaan Besar
Meskipun kematiannya dinyatakan sebagai bunuh diri, banyak yang merasa kematian Suchir Balaji masih menyisakan misteri. Kritikus menyoroti beban emosional dan tekanan yang mungkin dirasakan oleh Balaji sebagai whistleblower. Dalam postingan di platform X pada Oktober 2024, Balaji menyatakan keprihatinannya terhadap eksploitasi hak cipta oleh perusahaan AI generatif. “Penggunaan wajar adalah pembelaan yang tidak masuk akal untuk produk AI generatif,” tulisnya.
Tweet dan tulisan terakhirnya menjadi perhatian publik, menimbulkan seruan untuk regulasi yang lebih ketat di industri AI. Banyak pihak meminta transparansi yang lebih besar dalam praktik perusahaan teknologi untuk melindungi hak pembuat konten dan publik.
Warisan dan Peringatan bagi Industri AI
Kisah Suchir Balaji tidak hanya merefleksikan pencapaiannya yang luar biasa sebagai inovator teknologi, tetapi juga perjuangannya untuk membawa isu etika ke garis depan perkembangan AI. Balaji menunjukkan bahwa teknologi, betapapun canggihnya, harus dikembangkan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat secara luas.
Warisan Balaji tetap hidup dalam perdebatan mengenai regulasi, transparansi, dan keadilan dalam ekosistem teknologi global. Tragedi ini seharusnya menjadi pengingat penting bahwa inovasi tidak boleh mengorbankan nilai-nilai dasar kemanusiaan.